Oleh: Drs. Armahedi Mahzar, M.Sc
Teori relativitas dicetuskan oleh Albert Einstein pada tahun 1905 dalam tulisannya yang berjudul On The Electrodynamics of Moving Bodies di Annalen der Physik 17 pada halaman 891-921. Dalam teori ini disebutkan bahwa:
- kecepatan cahaya (c) itu tetap, c = konstan
- selang waktu itu nisbi, ∆t’ = ∆t / (1- v2/c2)1/2
- massa itu ekivalen energi, E = mc2
Teori ini berlaku untuk benda-benda yang bergerak dengan kecepatan tetap, dan dikenal sebagai Teori Relativitas Khusus.
Lalu, pada tahun 1915, Albert Einstein menulis “Die Feldgleichungen der Gravitation (The Field Equations of Gravitation)“ di Koniglich Preussische Akademie der Wissenschaften halaman 844-847.
Teori ini dikenal sebagai Teori Relativitas Umum yang merupakan
perluasan dari Teori Relativitas Khusus. Teori Relativitas Umum yang
lebih dikenal sebagai Teori Gravitasi Einstein ini menyebutkan bahwa:
- Ruang dan waktu “melengkung”;
- Gravitasi berbanding lurus dengan tingkat kelengkungan ruang-waktu;
- Jam berdetak lebih lambat dalam medan gravitasi yang lebih rendah;
- Sebagai konsekuensinya, alam semesta itu terbatas ukurannya;
Dalam teori relativitas Einstein
disebutkan bahwa kecepatan cahaya adalah tetap. Besar kecepatan cahaya
diperoleh dari percobaan Louis Essen bersama A.C. Gordon-Smith yang
mengukur frekuensi berbagai modus normal gelombang mikro. Berdasarkan
hasil pengukuran ini, mereka menemukan bahwa kecepatan cahaya ialah
299.792±3 km/s. Kemudian, pada tahun 1950 percobaan tersebut diulang
oleh Louis Essen dan diperoleh nilai 299.792,5±1 km/s. Hasil ini
kemudian disepakati oleh pertemuan umum ke-2 Radio-Scientific Union pada tahun 1957.
Interpretasi amr dan kecepatan cahaya
Kecepatan cahaya dalam teori relativitas, dapat dihubungkan dengan kecepatan amr (diterjemahkan sebagai “urusan” dalam Al-Qur’an terjemahan Depag), sebagaimana tercantum dalam Surat As-Sajdah ayat 5 berikut:
“Dia mengatur urusan dari langit ke
bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Interpretasi fisis dari ayat tersebut ialah kecepatan amr
sama dengan kecepatan cahaya. Interpretasi atau tafsiran ini diperoleh
Dr. Mansour Hassab-Elnaby setelah melakukan serangkaian perhitungan.
Beliau memulai perhitungan dengan logika seperti ini: 1 hari yang
ditempuh amr sama dengan 1000 tahun atau 12000 bulan. Artinya, jarak yang ditempuh amr dalam 1 hari sama dengan 12.000 kali jarak yang ditempuh Bulan dalam 1 bulan.
Misalkan kecepatan amr adalah c maka jarak yang ditempuh amr adalah:
c x 1 hari = 12.000 x panjang lintasan orbit Bulan … (1)
c t = 12.000 L … (2)
Sedangkan L atau panjang lintasan orbit Bulan, dapat dihitung dengan rumus berikut:
L = v T … (3)
dimana
c = kecepatan cahaya
t = waktu 1 hari bintang, yaitu waktu
yang diperlukan Bumi berotasi penuh terhadap sumbunya relatif terhadap
sebuah bintang acuan
L = panjang lintasan yang ditempuh Bulan untuk mengitari Bumi satu putaran penuh
v = kecepatan rata-rata Bulan saat mengitari Bumi
T = periode 1 bulan sidereal, yaitu waktu yang diperlukan Bulan untuk mengitari Bumi satu putaran penuh, relatif terhadap sebuah bintang acuan
Nilai v bisa diperoleh dari data jari-jari rata-rata (R) orbit Bulan mengelilingi Bumi dan data periode satu bulan sidereal. Data ini kemudian diolah dengan rumus kecepatan Gerak Melingkar Beraturan:
v = (2πR)/T … (4)
dimana
R = 384.264 km
T = periode satu bulan sidereal
= 27,321661 hari
= 655,71986 jam … (5)
maka
v = (2 x 3,l4l6 x 384.264) / 655,71986
= 3682,07 km/jam … (6)
Sebagai besaran vektor, nilai v ini perlu
dikoreksi karena arahnya yang terus berubah selama perputaran Bulan
mengitari Bumi (lihat gambar di bawah). Koreksi tersebut diberikan
dengan rumus:
v’ = v cos Ø … (7)
Di mana Ø adalah sudut yang telah ditempuh oleh sistem Bumi-Bulan selama satu bulan sidereal
atau 27,321661 hari. Dengan rumus ini, vektor v yang diperoleh akan
selalu berarah sama, yaitu tegak lurus terhadap arah bintang acuan
(lihat gambar di bawah).
Karena sudut yang telah ditempuh oleh sistem Bumi-Bulan dalam satu tahun atau 365,25636 hari adalah 360°, maka:
Ø = 27,321661 x 360°/365,25636
= 26,92848°
cos Ø = cos (26,92848°) = 0,89157 … (8)
Subtitusi (8) ke dalam (7)
v cos Ø = 3682,07 x 0.89157 km/jam … (9)
Subtitusi (7) ke (3) lalu (3) ke (2) menghasilkan rumus:
ct = 12.000 v cos Ø T … (10)
c = (12.000 v cos Ø T)/t … (11)
dimana
T = 655,71986 jam
t = 1 hari = 23 jam 56 menit 4.0906 detik = 86164.0906 detik
sehingga
c = (12.000 x 3682,07 x 0,89157 x 655,71986) / 86164,0906
= 299.792,5 km/s … (12)
Nilai c (kecepatan amr) dari
hasil perhitungan Dr. Mansour ini sangat mendekati (kalau tidak
dikatakan sama persis) dengan data empiris kecepatan cahaya yaitu c = 299.792,5±1 km/s.
Kemiripan hasil perhitungan amr
Dr. Mansour dengan data empiris kecepatan cahaya telah dianggap sebagai
sebuah bukti kemukjizatan/keajaiban Al-Qur’an. Untuk memahami fenomena
ini lebih mendalam, pembaca dapat mengunjungi situs www.speed-light.info.
Meskipun kemiripan tersebut sangat
mencengangkan, masih terdapat sejumlah ayat lain dalam Al-Qur’an yang
perlu dikaji, terkait dengan masalah kecepatan amr. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.“ (Q.S. 70:4)
“Dan mereka meminta kepadamu agar
azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi
janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu
tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. 22:47)
Beda bahasa, beda tafsiran
Terkait teori relativitas, Al-Qur’an juga secara tidak langsung menyinggung masalah kesetaraan massa dan energi (E = mc2), yang muncul dalam fenomena peluruhan bintang. Hal ini tercantum dalam potongan ayat Q.S. 77:8:
“Dan apabila bintang-bintang telah dihapuskan.”
Fenomena lain yang terkait teori relativitas adalah ekspansi alam-semesta, sebagai kelanjutan dari peristiwa Bing Bang yang mengawali alam raya ini. Hal ini pun telah disinggung oleh Al-Qur’an:
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (Q.S. 51:47)
Dalam Terjemahan Al-Qur’an versi bahasa Inggris, ayat tersebut diartikan sedikit berbeda:
“And it is We who have constructed the heaven with might, and verily, it is We who are steadily expanding it.” (Q.S. 51:47)
Mana terjemahan yang lebih sesuai? Jawabannya perlu dikaji lebih lanjut oleh para ahli tafsir maupun ilmuwan fisika.
Permasalahan penerjemahan terkait hubungan teori relativitas dan Al-Qur’an, juga muncul dalam ayat-ayat berikut:
“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam.” (Q.S. 81:15-16)
Terjemahan Al-Qur’an versi bahasa Inggris
untuk kedua ayat tersebut, ternyata bisa memberikan tafsiran yang
terkait dengan fenomena lubang hitam:
“So verily, I swear by the stars that are veiled. And by the (sweeping) stars that move swiftly and hide themselves.” (Q.S. 81:15-16)
Jika al-kunnas diartikan
“terbenam” maka ayat di atas hanya menggambarkan fenomena yang
terbit-terbenamnya bintang, sebuah fenomena yang lazim terlihat oleh
semua orang. Namun jika diartikan “menyembunyikan diri mereka”, maka
ayat tersebut bisa jadi memang menceritakan fenomena lubang hitam.
Kiranya kajian mengenai ayat-ayat yang
terkait dengan teori relativitas masih sangat luas. Tentunya, kajian ini
membutuhkan keterlibatan para ilmuwan, baik dari disiplin ilmu fisika
maupun ilmu tafsir klasik. Wallahu a’lam bisshowabDitulis oleh: Drs. Armahedi Mahzar, M.Sc
Sumber : http://misykatulanwar.wordpress.com/2008/07/17/al-quran-dan-teori-relativitas/
MEDIA SOSIAL